Senin, 08 Agustus 2016

Lebih Baik Mati

LEBIH BAIK MATI
LEBIH BAIK MATI
Oleh: Nusa Putra
Lebih baik mati! Hidup juga udah gak guna!


 Ungkapan ini dilontarkan seorang remaja putra dengan sangat emosi sampai-sampai suaranya terdengar bergetar. Ungkapan itu terdengar tidak elok, bahkan mungkin tidak pantas. Tabu, pantangatau pamali. Mengejutkan. Boleh jadi si remaja itu letih, sangat letih atau mulai putus asa, frustrasi.
Sudah lebih dari sebulan ia menunggui ayahnya yang terbujur tak berdaya di ruang ICU. Ia bungsu dan satu-satunya lelaki. Ketiga kakaknya perempuan. Karena satu-satunya lelaki, maka ia harus menemani ibu atau kakaknya di malam hari menunggui sang ayah. Mereka tidur di sebuah ruang kecil yang memang disediakan bagi keluarga klien yang dirawat di ruang ICU.
Pastilah tidak menyenangkan tidur di ubin beralaskan karpet dan kasur tipis. Meski ber AC, ruangan itu agak panas karena terlalu banyak manusia di dalamnya. Hanya keluarga mereka yang menunggu berdua. Keluarga lain ada yang sampai empat orang menunggu di situ.
Pagi sekali ia harus pulang mengendarai motor sendiri agar tidak terlambat sampai di sekolah. Jarak dari rumah sakit ke rumahnya bisa ditempuh satu setengah jam bila tidak macet. Sekolahnya tidak terlalu jauh dari rumah.


 Mungkin, karena sudah lebih dari sebulan, ia mulai merasa penat. Kegiatan rutinnya terganggu dan ia harus menjalani hidup yang sama sekali berbeda. Apalagi jika memerhatikan ayahnya di ruang ICU dari balik kaca. Ia merasa sangat sedih, putus asa dan sama sekali tidak mengerti.
Mengapa ayahnya yang begitu baik, dermawan, sangat peduli terhadap orang miskin, rajin beribadah harus terbujur kaku tak berdaya di ruang yang dipenuhi peralatan yang tertancap di banyak bagian tubuh ayahnya. Sedangkan banyak orang jahat yang dirasuki kebencian, iri hati, koruptor, pemerkosa anak-anak berkeliaran dalam keadaan sehat di luar sana. Mengapa bukan mereka yang terbujur di sini sebagai balasan atas kejahatannya?
Ia sekeluarga memang sama sekali tidak siap dan sangat kaget serta terpukul mengahadapi musibah yang sangat tiba-tiba ini. Ayahnya tidak mengidap penyakit berbahaya seperti jantung, diabetes, darah tinggi atau gangguan organ serius. Ayahnya sehat-sehat saja.
Semua ini bermula akibat pengemudi truk bejat menyetir dalam keadaan mabuk. Mobil ayahnya ditabrak  oleh truk yang ugal-ugalan. Supir ayahnya meninggal di tempat kejadian, dan ayahnya koma sampai hari ini. Sang sopir truk kini dirawat di rumah sakit yang berbeda dengan kaki dan tangan patah, serta berstatus sebagai tahanan Polisi.


 Karena keadaan ayahnya semakin memburuk, sudah tiga kali dilakukan rapat keluarga besar yang melibatkan seluruh keluarga ayahnya. Sebenarnya suara mayoritas menginginkan semua peralatan yang disambungkan ke tubuh ayahnya segera dicabut. Sangat kasihan membiarkan ayahnya diperlakukan seperti itu. Ia dan kakak-kakaknya juga tidak keberatan.
Tetapi ibunya belum ikhlas melepas ayahnya. Ia berpikir, mungkin ketidakikhlasan ibunya itu yang membuat ayahnya masih bertahan. Ibunya percaya, manusia boleh mengharapkan mukjizat dari Allah. Ia dapat menerima penolakan ibunya. Ia yakin, dalam masalah pelik seperti ini, suara terbanyak bukanlah penentu. Ini bukan sedang pemilihah kepala desa, pikirnya.

 Namun, belakangan ia mulai berpikir bahwa lebih baik ayahnya wafat. Ia berpikir seperti itu bukan karena tidak menyayangi dan mencintai ayahnya. Ia mendengar keterangan dari dokter bahwa ayahnya mengalami cedera sangat berat pada kepalanya. Otaknya sudah tidak bisa berfungsi normal kembali. Benturan keras membuat kepala dan otak ayahnya benar-benar mengalami kerusakan fatal.
Ia mencari berbagai informasi di Google tentang cedera otak. Benar saja, jika dipertahankan hidup, ayahnya sudah tak lagi bisa berfungsi sebagai manusia normal. Makin lama di ruang ICU pasti menghabiskan uang. Mereka sudah menjual dua motor. Ayahnya pedagang, memiliki toko di Tanah Abang dan beberapa tempat lain. Jika begini terus, pasti semuanya akan tersedot habis. Bagaimana keluarga ini menghadapi hidup selanjutnya? Bukankah keluarga ini harus melanjutkan hidup, apapun keadaannya?

 Ungkapan lebih baik mati, hidup juga gak guna, terasa tidak sopan, sarkas atau kasar, boleh jadi menggambarkan keputusasaan. Namun dalam konteks seperti ini rasanya tidaklah demikian artinya. Kala manusia menghadapi pilihan-pilihan yang sulit, cara menilai pastilah tidak sama dengan keadaan normal.
Menghadapi situasi seperti ini memang sangat problematis. Terutama bagi manusia yang memiliki iman dan menghayati spiritualitas. Di beberapa negara Barat sudah ada regulasi yang membolehkan manusia disuntik untuk mengakhiri hidup bila memenuhi sejumlah persyaratan, agar tidak terlalu lama menderita. Salah satu sumber regulasi itu adalah hak asasi manusia. Pemikiran yang sepenuhnya rasional yang tidak didasarkan pada iman atau spiritualitas memang sederhana. Sesederhana matematika duniawi. Tiga dikurang satu pasti dua. Tidak demikian halnya dengan matematika yang didasarkan pada iman, yang melekat dengan spiritualitas. Bila Anda memiliki uang seribu rupiah dan memberikan lima ratus rupiah dengan ikhlas kepada orang yang pantas menerimanya, faktanya uang Anda sisa lima ratus sebagaimana yang diajarkan matematika duniawi.
Tetapi matematika yang didasarkan pada iman menegaskan, Allah pasti, bukan akan, membalasnya berkali-kali lipat. Ini garansi dari Allah. Balasan itu bisa dalam bentuk uang juga. Tetapi tidak selalu dalam bentuk uang. Bisa berupa kesehatan, keselamatan, dan bentuk-bentuk lainnya.




 Begitupun manghadapi kematian. Secara rasional benar adanya bahwa jika manusia mengalami kerusakan otak, apalagi parah pasti tidak lagi dapat berfungsi sebagai manusia normal. Karena itu untuk apa dipertahankan tetap hidup?
Ini bukan sekadar soal apakah manusia masih bisa berfungsi lagi atau tidak. Bahkan bukan hanya soal bisa sembuh lagi atau tidak. Ini soal siapa yang menentukan kematian.
Mengapa ada orang yang menderita begitu lama sebelum akhirnya wafat? Ada rahasia di balik semua itu. Penalaran rasional memang tidak memiliki kemampuan untuk memahaminya secara mendalam. Menghadapi situasi ini dibutuhkan penalaran spiritual.
Penentunya adalah keyakinan akan keberadaan dan kekuasaan Tuhan.
Agama mengajarkan, penderitaan yang dialami oleh manusia sebelum wafat dalam bentuk sakit berkepanjangan, penderitaan mereka yang diluluhlantakkan tsunami, gempa bumi dan bencana lain, memiliki makna di hadapan Allah. Semuanya diperhitungkan, diberi tempat. Itulah sebabnya suntik mati tidak dibenarkan bagi manusia yang sangat menderita sekalipun oleh aturan agama.


 Kematian memang memiliki makna yang tak menyenangkan. Kematian lekat dengan kehilangan, kesedihan, dan pedihnya ditinggalkan oleh orang yang dicintai. Namun, kadang kematian adalah solusi terbaik. Bila si ayah yang telah lama terbujur di ruang ICU wafat, pastilah merupakan solusi bagi penderitaan keluarga ini.
Meskipun tetap akan dihadapi dan dialami dengan kesedihan mendalam. Namun, terselip rasa syukur. Biasanya secara halus diungkapkan dengan cara tidak langsung seperti, kepergian ini merupakan yang terbaik baginya. Terbaik bagi semuanya. Meski kita sangat menyayangi dan mencintainya, tetapi Allah lebih mencintainya. Ungkapan yang membuat semua yang terlibat dalam kesedihan merasa lebih lega dan enteng.
Kematian sebagai solusi juga bisa dialami oleh negara. Pada negara-negara komunis yang dengan sengaja mentradisikan kultus individu, seringkali kematian merupakan solusi terbaik untuk mengatasi konflik dan membuat negara menjadi stabil.
Saat Mao Tse Tung makin sepuh dan kurang berfungsi, ia tetap jadi pemimpin besar. Karena para pendukung utama dalam lingkar dalam kekuasaan tetap membutuhkan kehadiran sosoknya agar tetap berada dan memertahankan kekuasaan. Tak pernah gampang mengganti pemimpin besar di negara-negara komunis.


 Sementara pemimpin besar semakin dipunukkan penyakit parah, berkembanglah beragam spekulasi dan konflik yang membuat negara menjadi tidak stabil. Ketegangan bisa berkepanjangan bila sang pemimpin besar tidak pernah muncul ke publik.
Berbagai kelompok kepentingan bahkan bisa secara langsung berhadap-hadapan memperebutkan kekuasaan. Kala akhirnya si pemimpin besar wafat, biasanya stabilitas negara secara perlahan bisa dikembalikan, pemimpin besar baru pun muncul. Cina mengalaminya pada masa Mao dan Deng Xiao Ping. Korea Utara mengalaminya pada sama Kim Il sung dan Kim Jong Il. Cuba juga mengalaminya.
Kematian kadang merupakan solusi terbaik untuk sejumlah masalah yang dihadapi keluarga bahkan negara.
Meski begitu, manusia tetap harus sepenuhnya menyadari bahwa penentu kematian adalah Allah.




KEMATIAN KADANG MENJADI PROBLEMATIS.